Sabtu, 23 Desember 2017

Diskusi Senja Rawa

Apakah ada yang bisa menggerakkan kaki-kaki kita, bahkan sampai ke tempat jauh kecuali beralasan polemik hati? Sore itu kita bersua. Kita saling menggengam cangkir kopi yang sepi. Panasnya telah dilahap angin rawa. Pahitnya telah dikubur kepingan senja. Dari jauh, kapas seperti wajah yang marah menaburkan kelemahan bibir yang makin bisu lemah. Kita saling menekur pada kaca genang air tenang, langit tidak pernah tinggi di tempat ini. Selagi kaki bisa berjalan, selalu ada hati yang bermasalah. Wajat saja menanggapi hati, eratkan genggam pada bincang ringan pada kawan. Tertawakan tangis agar ia tak berani keluar dari pelupuk mata

Kamis, 26 Oktober 2017

Sebatas Gunjingan Pribadi



Cerita apa yang hendak kau tuliskan, MIZ? Ini sudah beberapa kali kau mencoba menulis, namun tetap saja laju ceritamu rumpang dan pincang. Seperti ada yang kurang memang, tapi apa? Latar apa pula yang hendak kau bubuhkan ke dalam ceritamu? Sungguh bila kau tidak berniat menulis dengan hati, ceritamu hanya seperti kentut; berbau dan tidak ada maknanya.
Aku pikir aku akan menulis cerita tentang sekolah. Bukan. tentang kampusku sendiri. seperti orang-orang tahu, kampusku bukanlah kampus yang besar. Yang diberkati Tuhan dengan segala kecukupan; SDM maupun SDA-nya. Namun, bukankah seorang Cina pernah berpesan dengan analoginya yang lumayan familiar beberapa dekade? Dia berpesan pada muridnya yang plonco. Kalian adalah air. dan kalian diberkati akal sebagaimana sifat air; mengikuti wadahnya. Kalian telah mendapatkan berkat itu semenjak lahir. Sebenernya tidak pernah ada kata tersesat dan gagal. Akal telah menjadi mesin paling canggih sepanjang jaman selama kita tahu bagaimana mengoperasikannya. Air yang ditaruh pada gelas blek itu tidak akan pernah memiliki wujud sendiri kecuali dipengaruhi bentuk blek. Suntak saja sampai penuh. Lantas, coba kau masukkan beberapa logam koin. Jangan hanya satu. Bayangkan saja koin itu adalah tekanan daripada lingkungan. Air yang menjadi wujud dari pada kamu sendiri akan meluap tergantung berapa banyak koin yang dimasukkan. Air itu akan muntap dan muncrat berhamburan membasahi alas. Tapi buat apa terlalu banyak basa-basi menulis tentang benda mati? kenapa bukan tentang isi kepala manusia-manusia di dalamnya?
Mungkin benar, dengan sedikit anilisis dan teori dari beberapa literatur aku bisa mengambil beberapa tokoh dari sekelilingku. Bahkan sederhananya, aku menciptakan duniaku sendiri. apakah terkesan sungguh jahat? Tidak! Aku katakan ini tidak jahat sama sekali. justru aku ingin menguak rahasia dari setiap manusia yang pernah ada. Sedikit dari mereka dengan persinggungan hidup sungguh akan menjadikan suatu cerita yang abadi. Permasalahan manusia itu hanyalah sederhana; tentang hidup. Jadi, selama aku hidup aku akan terus menulis. Menulis masalah. Dan tulisanku akan abadi seperti milik guruku. Sudah jelas dan mantap saja.

Rabu, 23 Agustus 2017

Pembukaan KBM Jurnalistik Membawa Nasib Sosok Zaid Terlupaka

Malam Kamis (23/8), Kegiatan belajar mengajar (KBM) Jurnalistik bagi Santriwan dan Santriwati Pon. Pes. Ittihadul asna resmi dimulai. Kegiatan ini merupakan gebrakan baru bagi bagi para santri demi meningkatkan kapabilitas diri dalam menekuni kajian minat, dalam hal ini jurnalistik.
Kelas terdiri dari 10 peserta; 5 santri putra dan 5 santri putri. Tempat pelaksanaan bertempat di komplek lantai dua atau yang sering digunakan sebagai kelas santri kelas 3. Kelas dimulai pada pukul 21.10 sampai 22.30 WIB. Selama hampir satu jam setengah, para santri mendapatkan pengantar jurnalistik dari ustadz Muhsin Ibnu Zuhri.
Berbeda dengan kelas tarbiyah rutin, KBM jurnalistik mengarahkan santri untuk membuka wawasan tentang gejala sosial di pondok dan bagaimana mengemasnya dalam bentuk warta. Tentu saja ini sangat menarik, dimana biasanya nama "zaid", dalam kajian nahwu, sering didengungkan kini nama tersebut seolah dilupakan barang sejenak.
" Dalam menulis berita, kita harus bisa mengangkat hal-hal yang sederhana menjadi satu topik yang enak dibaca" kata Muhsin selaku pengajar. Dia memberikan stimulasi kepada peserta dengan contoh judul berita "ternyata orang ini yang sering menggosob sandal para ustadz". Pemilihan judul berita ini disambut meriah oleh para peserta dengan memandang hal gosob menjadi topik yang perlu dipandang dari sisi lain.

Kelas ditutup dengan pemberian tugas untuk menulis berita kejadian sekitar pondok sebagai bahan analisis pertemuan mendatang. Bagaimanapun, selama satu setengah jam, " Zaid" menjadi nama yang disisihkan terlebih dahulu dalam KBM Jurnalistik.

Rabu, 09 Agustus 2017

Kapan kamu kembali

Kapan kamu kembali?
Langkahmu berderap menuju besi baja
yang akan mengantarmu ke lautan entah
Punggungmu kuyu kentara dibalik tirai senja

Detik adalah hampa
Bibirmu menggaris rapat
Aku bercakap dengan penggungmu
Sirine gerah memarahimu agar gegas masuk sarang induk
Wajahku tertunduk
Basah tanah bekas air matamu menyisakan janji
Kapan kamu kembali?

Rabu, 26 Juli 2017

AJENG


Dentuman musik kian ramai. Lapangan yang penuh dengan rumput setengah hijau itu mulai terlihat tidak utuh. Murid-murid berhamburan memadati tepian lapangan. Murid-murid yang masih di dalam kelas jelas berdiri-duduk dan mengintip jendela berulang kali. Mata mereka seperti tidak ingin melewatkan satu pemandanganpun dari tengah lapangan. Sebentar bel berbunyi, murid-murid berhamburan ke luar kelas dan menempati tempat duduk paling strategis; dibawah pohon atau gazebo. Segerombolan orang di tepi lapangan benar-benar mencuri perhatian semesta sekolah. Mereka adalah para peserta lomba bola basket yang akan berlomba di Semarang bulan depan. Sekolah Menengah Atas 21 Salatiga memang memiliki suatu tradisi yang bisa dibilang menarik. Sebelum peserta lomba mengikuti lomba apapun, maka mereka harus berpentas terlebih dahulu di depan kaumnya sendiri.

Dibawah pohon Jambu air. Wajahnya yang bertopeng bayangan dedaunan diatasnya itu menerawang jauh ke tengah lapangan. Orang-orang biasa memanggilnya Ajeng. Wajahnya teduh dan kulitnya kencang; mengambarkan kisaran umur yang tidak terpaut jauh dari orang-orang yang sedang berkerumun di tepi lapangan. Matanya jelas melayang dan mendarat pada satu titik saja. Satu saja dan tidak kemana-mana. Matanya mencumbu sendiri seorang laki-laki dengan kaca mata; berbadan tinggi proporsional; berkaos jersey; dan kulit yang coklat mengkilat. Semua wanita di lapangan akan meneriakkan namanya, Daniel, saat tangannya melakukan dribble lincah dan menjaringkan bola ke ranjang. Namun, dari sekian banyak wanita yang mengelukan namanya, tentu ada satu yang tidak akan melakukan hal yang serupa. Ya. Dialah Ajeng. Dia adalah wanita yang paling pintar menyimpan bahasa. Dia paling betah menutup suara meski bagaimanapun keadaannya. Bahkan, saat hatinya merasakan sensasi yang sama meriahnya dengan hati wanita lainnya kala melihat lelaki ganteng di depan sana, dia akan dengan sekuat tenaga menahan suaranya. Itulah cara hatinya bekerja.

Lagu Ed Sheeran diputar. Semua orang bernyanyi. Ajeng tetap berdiam diri. Ajeng bahkan tidak ingat kapan ia terakhir bernyanyi. Baginya, dunia ini adalah tempat paling memunculkan praduga. Semakin dia bersuara, dia akan menemui begitu banyak kesalahan pada dirinya. Berbicara pada orang lain saja jarang, apalagi mengatur nada untuk menyanyi. Bibirnya tertutup rapat. Kakinya memaku bumi. Tangannya mencengkeram ranting kayu yang tidak berduri. dia tidak kemana-kemana. Masih di tempat sama. Berjaga jarak dengan murid-murid lainnya.

Daniel dan teman-temannya memasuki lapangan dengan kompak. Setiap jengkal langkah yang menyentuh lantai, tepukan tangan meriah para penggemar setia mengiringi. Daniel, sebagai kapten team, berdiri di depan wasit disusul anggotanya di belakang. Mereka berbaris satu banjar, lalu pemain yang berdiri paling kiri harus berjalan menjabat tangan pemain di kanannya sampai pemain terakhir di pojok kanan. Mereka bilang, ini adalah wujud dari sportifitas. Semua pemain berada pada posisinya masing-masing. Peluit wasitpun dibunyikan. Para supporter mulai mengeluarkan jargon-jargon sebagai dukungan di pinggir lapangan.

           Tidak jauh dari lapangan, Ajeng masih beridiri termangu. Ia tahu, ia bisa saja menjadi cheerleaders ataupun sebatas menjadi penonton setia untuk pertandingan Daniel. Tapi, dia lebih memilih untuk menjaga jarak. Ia tidak pernah merasa sama dengan teman-teman sebayanya. Bahkan Daniel, dia hanya mampu mengucap nama itu dalam doa. Dia sudah memutuskan untuk menutup segala kisah masa lalunya. Semua yang ia rasakan telah ia abadikan dengan goretan bekas jahitan dikeningnya.

*********
Sepuluh tahun yang lalu, Ajeng adalah gadis yang ceria. Tidak sedetikpun wajahnya menggambarkan kehidupan yang sedih. Lebihnya lagi, dia tinggal dikeliling orang-orang yang bergelimang harta. Ayah Ajeng adalah seorang bos perusahaan listrik. Ibunya bekerja di Singapore sebagai pengusaha kebab yang mapan. Ajeng juga anak tunggal. Jadi, apapun yang ia inginkan akan terwujud dengan segera. Dari sekian banyak permintaan yang ia ajukan, hanya ada satu yang tidak bisa orang tuanya kabulkan. Meminta kedua orang tuanya kembali rujuk menjadi pasangan serasi. Hal ini pula yang membuat ayah dan ibunya bekerja di Negara yang berbeda. Mereka telah berpisah. Ajeng mengikuti ayahnya dan tinggal di Salatiga.

Selang dua tahun, kala Ajeng menginjak umur 13 tahun, ia mendapati fakta yang akan mengubah hidupnya setelah itu. Ayahnya meninggal dalam perjalanan pulang tertabrak truk. Tubuhnya hancur. Nyawanya melayang seketika. Mendengar kabar itu, Ajeng menangis lalu pingsan. Saat ia siuman, ia sudah mendapati rumahnya hanya ada ia dan Bibi Laksmi. Ajeng, bagaimanapun juga, sangat menyayangi ayahnya. Ia masih belum terima bahwa tuhan hendak mengajak ayahnya meninggalkan dunia ini lebih cepat. Ia jelas belum rela untuk kematian yang terlalu terburu-buru.

Ibu Ajeng pulang ke Indonesia. Dia telah menikah lagi. Ia datang bersama suaminya yang baru dan salah seorang anak yang terlihat sangat bahagia. Ibunya sempat mengajak Ajeng untuk tinggal bersamanya. Namun, Ajeng menolaknya. Ia tidak mau tinggal bersama ibu yang tega menikah lagi dengan orang yang baru. Bahkan, sepeninggal ayah Ajeng, ibunya tidak memunculkan ekspresi berlebihan. Bahkan, ia nampak biasa saja. Ajeng lebih memilih hidup bersama Bibi Laksmi, seorang pembantu keluarga yang sudah mengasuhnya semenjak ia masih dalam kandungan.

Ibu Ajeng menyusul mantan suaminya dua tahun setelahnya. Ia terjangkit penyakit komplikasi. Meskipun sudah bertahun-tahun Ajeng tidak bertemu dengannya, ia tetap dialiri daging dan darah ibunya. Ia tetap bersedih, namun tidak seperti saat ayahnya pergi. ia serupa ibunya kala itu, tidak terlalu memunculkan raut wajah kehilangan.
******

Pertandingan Daniel berakhir disertai peluit panjang wasit. Daniel menunjukkan keahliannya selama pertandingan. Seperti biasanya, dia tidak banyak bicara. Dia diam dan melangkah ke tepi lapangan. pelatih terlihat memberikan komentar terkait permainan yang sudah berlangsung. Keringat mengalir dari keningnya turun ke dada. Dia mengusap peluh dengan handuk. Dia sangat dingin, tapi mampu meluluhkan banyak hati wanita.

Bel sekolah berbunyi nyaring, semua orang berhamburan kembali ke kelas. Ajeng, dia masih tetap di tempat asalnya tadi. Matanya tidak kemana-mana, dia terus memandangi Daniel dengan penuh hati. Melihat lapangan dan kondisi sudah sepi, Ajeng memulai langkahnya mendekati Daniel. Ia menyodorkan botol minuman ke muka Daniel. Daniel tersenyum dan menerimanya. Tidak ada suara diantara mereka. Bahkan sekedar angin, ia terdengar begitu berisik. Ajeng tidak berkata apapun. Mata dan bibirnya serempak. Matanya melihat Daniel datar. Bibirnya seperti tertutup lakban.


Daniel selesai meneguk minuman satu botol tanpa sisa. Dia mulai beranjak berdiri. Dia berhadapan dengan ajeng. Jarak mereka dekat. Kepala Daniel mendekati Ajeng. Semakin dekat. Hembusan nafas mereka berdua beradu. Mulut Daniel seperti hendak mengatakan sesuatu. Ia memegang tangan Ajeng dengan lembut, “Setelah ini, aku ingin mengajakmu ke makam ibu kita. Ayahmu juga ayahku.” Daniel mengusap kening Ajeng dan beranjak pergi. Ajeng berjalan mengekor di belakang. Mereka masih memiliki arah dan rasa yang sama, darah dan daging dari seorang ibu yang sama dan ayah yang berbeda.

Selasa, 25 Juli 2017

Sebelum Kembali ABG

Kepada malam-malam yang sesak dengan dengkuran kakak.

Setelah menyelesaikan satu prosa pertama yang aku beri judul ‘Jatuh Hati’, aku tertarik untuk menulis kembali cerita yang mengambil latar belakang sekolah. Ide ini mencuat tentu bukan tanpa alasan. Aku ingin sekali mengambil latar sekolah karena selama dua belan ke depan aku akan tinggal di sana untuk keperluan kampus. Istilahnya Praktik Kerja Lapangan (PPL). Tentunya keadaan disana akan menggiring aku kembali ke masa beberapa tahun silam. Untuk konsep latar mungkin sudah bisa digambarkan secara real. Namun, untuk konsep ingin dibawa kemana tulisan ini belum tahu.

Sekolah tidak selalu menyuguhkan kehidupan pendidikan formal saja. sejatinya, Sekolah ada sebuah replica dunia teratur yang minimalis dimana kita bisa menemui penentu kebijakan, perancang Undang-Undang, bahkan tukang pekerja yang hanya mengepel lantai tiada bosannya. Perihal warganya, akan banyak sekali kisah yang bisa aku lihat di sana. Meskipun sampai detik ini belum ada satupun kisah yang ingin aku angkat, aku optimis memiliki ide dari tiap kepala disana.

Sedikit curhat, ya? Kemarin aku mengikuti upacara bendera. Seingatku, terakhir aku mengikuti upacara bendera yaitu saat aku duduk di bangku SMA kelas 3, dan itu sekitar 6 tahun yang lalu. bukankah itu waktu yang cukup lama? 6 tahun lalu, aku juga masih mengenakan seragam dan berbaris bersama kompiku yang saling hadap dengan Pembina upacara. Namun, kemarin aku merasakan sensasi yang berbeda. Aku berada dijajaran kompi para guru. Aku berada di barisan kiri Pembina upacara. Dengan begini, aku bisa melihat Pembina upacara tanpa harus takut dipergoki dilihatnya.

Tidak ada yang berbeda secara signifikan selama mengikuti upacara. Satu hal yang benar-benar membuat aku begitu merinding adalah saat sang saka merah putih di tarik keatas tiang diiringi grup choir yang suaranya aduhai merdunya. Aku bisa merasakan bagaimana ada yang tiba-tiba bergetar. Aku pikir aku lapar, ternyata memang ada sebagian dari diriku terbangkitkan oleh lagu Indonesia Raya. aku merindukan. Aku menemukan cinta. cinta yang naik turu, timbul tenggelam, ada dan menghilang. Ini sedikit tentang perasaanku saja kala kemarin mengikuti upacara bendera.

Kembali ke topic, ada beberapa pilihan untuk sudut pandang ceritaku. Sudut pandang guru, sudut pandang murid, pemangku kebijakan, ataupun sudut pandang Office Boy. Aku masih meraba-meraba sudut pandang mana yang paling tepat. Untuk nuansa yang diangkat, masih dalam pertimbangan juga. aku inginnya tidak menyisipkan cinta, namun apalah daya. Bak sayur tanpa garam, cerita akan hambar tanpa cinta di dalamnya. semoga aja ide itu lekas ketemu, yah meskipun terbagi dengan tugas-tugas lain untuk keperluan PPL. Semoga saja, aku bisa menjadi guru yang lumrah. aku berusaha kok. Doakan saja semuanya sukses, baik PPLnya maupun tulisannya.

Muhsin Ibnu Zuhri 26/7/2017

Minggu, 16 Juli 2017

Pasar loak pengen eksis

Pasar loakan menawarkan berbagai macam bentuk perjuangan atas eksistensinya di kancah bisnis regional. Siapa yang mau panas-panasan di pasar loak? Siapa mau ngotot-ngototan untuk konsensus harga? Siapa mau diserang bau sedap ketiak, keringat, pun menyan? Orang kita lebih memilih belanja di supermarket. Selain tempatnya yang bersih, supermarket juga menawarkan pameran paha dan gincu perawan penjajak barang. Harga dari keduanya jangan ditanya. Supermarket tentu gembar-gembor sana-sini dengan menggunakan sistem diskon. Diskon sendiri sebenarnya hany perusak sistem prioritas pembelanja. Diskon mejadikan pergeseran prioritas dari yang tidak signifikan, menjadi dilirik. Itulah kenapa, banyak orang mondar-mandir di supermarket cari diskon. Menurut Paijo (60), "supermarket itu sama saja dengan kita. Mereka menganggar harga jauh daru harga asal, kemudian design marketinglah yang mengotak-atik harga jual. Meski diskon 99 %, sebenernya juga harga tetap diatas standar jual mereka. Kita tidak mungkin mengikuti gaya marketing mereka, kita itu kalah tempat. Orang yang datang ke lapak kita harus gontok-gontakkan dulu buar harga barang bisa turun. Bila mau dicoba, pasar kira lebih kreatif dan tidak menipu. Bedanya kita tidak punya perawan buat jadi promotor".

Mengingat timpangnya pasar bisnis kapitalis dan pebisnis kumuh market, kini semua orang akan lebih suka ke supermarket. Tapi, perlu diketahui, pasar loak memiliki daya menarik tersendiri untuk tetap eksis di bidang bisnis regional. Para pebisnis besar cari barang di loakan, dan penganut gengsisme menjadi budak kapitalis. Paradoks memang, tapi beginilah adanya.