Rabu, 26 Juli 2017

AJENG


Dentuman musik kian ramai. Lapangan yang penuh dengan rumput setengah hijau itu mulai terlihat tidak utuh. Murid-murid berhamburan memadati tepian lapangan. Murid-murid yang masih di dalam kelas jelas berdiri-duduk dan mengintip jendela berulang kali. Mata mereka seperti tidak ingin melewatkan satu pemandanganpun dari tengah lapangan. Sebentar bel berbunyi, murid-murid berhamburan ke luar kelas dan menempati tempat duduk paling strategis; dibawah pohon atau gazebo. Segerombolan orang di tepi lapangan benar-benar mencuri perhatian semesta sekolah. Mereka adalah para peserta lomba bola basket yang akan berlomba di Semarang bulan depan. Sekolah Menengah Atas 21 Salatiga memang memiliki suatu tradisi yang bisa dibilang menarik. Sebelum peserta lomba mengikuti lomba apapun, maka mereka harus berpentas terlebih dahulu di depan kaumnya sendiri.

Dibawah pohon Jambu air. Wajahnya yang bertopeng bayangan dedaunan diatasnya itu menerawang jauh ke tengah lapangan. Orang-orang biasa memanggilnya Ajeng. Wajahnya teduh dan kulitnya kencang; mengambarkan kisaran umur yang tidak terpaut jauh dari orang-orang yang sedang berkerumun di tepi lapangan. Matanya jelas melayang dan mendarat pada satu titik saja. Satu saja dan tidak kemana-mana. Matanya mencumbu sendiri seorang laki-laki dengan kaca mata; berbadan tinggi proporsional; berkaos jersey; dan kulit yang coklat mengkilat. Semua wanita di lapangan akan meneriakkan namanya, Daniel, saat tangannya melakukan dribble lincah dan menjaringkan bola ke ranjang. Namun, dari sekian banyak wanita yang mengelukan namanya, tentu ada satu yang tidak akan melakukan hal yang serupa. Ya. Dialah Ajeng. Dia adalah wanita yang paling pintar menyimpan bahasa. Dia paling betah menutup suara meski bagaimanapun keadaannya. Bahkan, saat hatinya merasakan sensasi yang sama meriahnya dengan hati wanita lainnya kala melihat lelaki ganteng di depan sana, dia akan dengan sekuat tenaga menahan suaranya. Itulah cara hatinya bekerja.

Lagu Ed Sheeran diputar. Semua orang bernyanyi. Ajeng tetap berdiam diri. Ajeng bahkan tidak ingat kapan ia terakhir bernyanyi. Baginya, dunia ini adalah tempat paling memunculkan praduga. Semakin dia bersuara, dia akan menemui begitu banyak kesalahan pada dirinya. Berbicara pada orang lain saja jarang, apalagi mengatur nada untuk menyanyi. Bibirnya tertutup rapat. Kakinya memaku bumi. Tangannya mencengkeram ranting kayu yang tidak berduri. dia tidak kemana-kemana. Masih di tempat sama. Berjaga jarak dengan murid-murid lainnya.

Daniel dan teman-temannya memasuki lapangan dengan kompak. Setiap jengkal langkah yang menyentuh lantai, tepukan tangan meriah para penggemar setia mengiringi. Daniel, sebagai kapten team, berdiri di depan wasit disusul anggotanya di belakang. Mereka berbaris satu banjar, lalu pemain yang berdiri paling kiri harus berjalan menjabat tangan pemain di kanannya sampai pemain terakhir di pojok kanan. Mereka bilang, ini adalah wujud dari sportifitas. Semua pemain berada pada posisinya masing-masing. Peluit wasitpun dibunyikan. Para supporter mulai mengeluarkan jargon-jargon sebagai dukungan di pinggir lapangan.

           Tidak jauh dari lapangan, Ajeng masih beridiri termangu. Ia tahu, ia bisa saja menjadi cheerleaders ataupun sebatas menjadi penonton setia untuk pertandingan Daniel. Tapi, dia lebih memilih untuk menjaga jarak. Ia tidak pernah merasa sama dengan teman-teman sebayanya. Bahkan Daniel, dia hanya mampu mengucap nama itu dalam doa. Dia sudah memutuskan untuk menutup segala kisah masa lalunya. Semua yang ia rasakan telah ia abadikan dengan goretan bekas jahitan dikeningnya.

*********
Sepuluh tahun yang lalu, Ajeng adalah gadis yang ceria. Tidak sedetikpun wajahnya menggambarkan kehidupan yang sedih. Lebihnya lagi, dia tinggal dikeliling orang-orang yang bergelimang harta. Ayah Ajeng adalah seorang bos perusahaan listrik. Ibunya bekerja di Singapore sebagai pengusaha kebab yang mapan. Ajeng juga anak tunggal. Jadi, apapun yang ia inginkan akan terwujud dengan segera. Dari sekian banyak permintaan yang ia ajukan, hanya ada satu yang tidak bisa orang tuanya kabulkan. Meminta kedua orang tuanya kembali rujuk menjadi pasangan serasi. Hal ini pula yang membuat ayah dan ibunya bekerja di Negara yang berbeda. Mereka telah berpisah. Ajeng mengikuti ayahnya dan tinggal di Salatiga.

Selang dua tahun, kala Ajeng menginjak umur 13 tahun, ia mendapati fakta yang akan mengubah hidupnya setelah itu. Ayahnya meninggal dalam perjalanan pulang tertabrak truk. Tubuhnya hancur. Nyawanya melayang seketika. Mendengar kabar itu, Ajeng menangis lalu pingsan. Saat ia siuman, ia sudah mendapati rumahnya hanya ada ia dan Bibi Laksmi. Ajeng, bagaimanapun juga, sangat menyayangi ayahnya. Ia masih belum terima bahwa tuhan hendak mengajak ayahnya meninggalkan dunia ini lebih cepat. Ia jelas belum rela untuk kematian yang terlalu terburu-buru.

Ibu Ajeng pulang ke Indonesia. Dia telah menikah lagi. Ia datang bersama suaminya yang baru dan salah seorang anak yang terlihat sangat bahagia. Ibunya sempat mengajak Ajeng untuk tinggal bersamanya. Namun, Ajeng menolaknya. Ia tidak mau tinggal bersama ibu yang tega menikah lagi dengan orang yang baru. Bahkan, sepeninggal ayah Ajeng, ibunya tidak memunculkan ekspresi berlebihan. Bahkan, ia nampak biasa saja. Ajeng lebih memilih hidup bersama Bibi Laksmi, seorang pembantu keluarga yang sudah mengasuhnya semenjak ia masih dalam kandungan.

Ibu Ajeng menyusul mantan suaminya dua tahun setelahnya. Ia terjangkit penyakit komplikasi. Meskipun sudah bertahun-tahun Ajeng tidak bertemu dengannya, ia tetap dialiri daging dan darah ibunya. Ia tetap bersedih, namun tidak seperti saat ayahnya pergi. ia serupa ibunya kala itu, tidak terlalu memunculkan raut wajah kehilangan.
******

Pertandingan Daniel berakhir disertai peluit panjang wasit. Daniel menunjukkan keahliannya selama pertandingan. Seperti biasanya, dia tidak banyak bicara. Dia diam dan melangkah ke tepi lapangan. pelatih terlihat memberikan komentar terkait permainan yang sudah berlangsung. Keringat mengalir dari keningnya turun ke dada. Dia mengusap peluh dengan handuk. Dia sangat dingin, tapi mampu meluluhkan banyak hati wanita.

Bel sekolah berbunyi nyaring, semua orang berhamburan kembali ke kelas. Ajeng, dia masih tetap di tempat asalnya tadi. Matanya tidak kemana-mana, dia terus memandangi Daniel dengan penuh hati. Melihat lapangan dan kondisi sudah sepi, Ajeng memulai langkahnya mendekati Daniel. Ia menyodorkan botol minuman ke muka Daniel. Daniel tersenyum dan menerimanya. Tidak ada suara diantara mereka. Bahkan sekedar angin, ia terdengar begitu berisik. Ajeng tidak berkata apapun. Mata dan bibirnya serempak. Matanya melihat Daniel datar. Bibirnya seperti tertutup lakban.


Daniel selesai meneguk minuman satu botol tanpa sisa. Dia mulai beranjak berdiri. Dia berhadapan dengan ajeng. Jarak mereka dekat. Kepala Daniel mendekati Ajeng. Semakin dekat. Hembusan nafas mereka berdua beradu. Mulut Daniel seperti hendak mengatakan sesuatu. Ia memegang tangan Ajeng dengan lembut, “Setelah ini, aku ingin mengajakmu ke makam ibu kita. Ayahmu juga ayahku.” Daniel mengusap kening Ajeng dan beranjak pergi. Ajeng berjalan mengekor di belakang. Mereka masih memiliki arah dan rasa yang sama, darah dan daging dari seorang ibu yang sama dan ayah yang berbeda.

0 komentar:

Posting Komentar