Dentuman musik kian ramai. Lapangan
yang penuh dengan rumput setengah hijau itu mulai terlihat tidak utuh. Murid-murid
berhamburan memadati tepian lapangan. Murid-murid yang masih di dalam kelas
jelas berdiri-duduk dan mengintip jendela berulang kali. Mata mereka seperti
tidak ingin melewatkan satu pemandanganpun dari tengah lapangan. Sebentar bel
berbunyi, murid-murid berhamburan ke luar kelas dan menempati tempat duduk
paling strategis; dibawah pohon atau gazebo. Segerombolan orang di tepi
lapangan benar-benar mencuri perhatian semesta sekolah. Mereka adalah para
peserta lomba bola basket yang akan berlomba di Semarang bulan depan. Sekolah
Menengah Atas 21 Salatiga memang memiliki suatu tradisi yang bisa dibilang
menarik. Sebelum peserta lomba mengikuti lomba apapun, maka mereka harus
berpentas terlebih dahulu di depan kaumnya sendiri.
Dibawah pohon Jambu air. Wajahnya
yang bertopeng bayangan dedaunan diatasnya itu menerawang jauh ke tengah
lapangan. Orang-orang biasa memanggilnya Ajeng. Wajahnya teduh dan kulitnya kencang;
mengambarkan kisaran umur yang tidak terpaut jauh dari orang-orang yang sedang
berkerumun di tepi lapangan. Matanya jelas melayang dan mendarat pada satu
titik saja. Satu saja dan tidak kemana-mana. Matanya mencumbu sendiri seorang
laki-laki dengan kaca mata; berbadan tinggi proporsional; berkaos jersey;
dan kulit yang coklat mengkilat. Semua wanita di lapangan akan meneriakkan
namanya, Daniel, saat tangannya melakukan dribble lincah dan
menjaringkan bola ke ranjang. Namun, dari sekian banyak wanita yang mengelukan
namanya, tentu ada satu yang tidak akan melakukan hal yang serupa. Ya. Dialah Ajeng.
Dia adalah wanita yang paling pintar menyimpan bahasa. Dia paling betah menutup
suara meski bagaimanapun keadaannya. Bahkan, saat hatinya merasakan sensasi
yang sama meriahnya dengan hati wanita lainnya kala melihat lelaki ganteng di
depan sana, dia akan dengan sekuat tenaga menahan suaranya. Itulah cara hatinya
bekerja.
Lagu Ed Sheeran diputar. Semua orang
bernyanyi. Ajeng tetap berdiam diri. Ajeng bahkan tidak ingat kapan ia terakhir
bernyanyi. Baginya, dunia ini adalah tempat paling memunculkan praduga. Semakin
dia bersuara, dia akan menemui begitu banyak kesalahan pada dirinya. Berbicara pada
orang lain saja jarang, apalagi mengatur nada untuk menyanyi. Bibirnya tertutup
rapat. Kakinya memaku bumi. Tangannya mencengkeram ranting kayu yang tidak
berduri. dia tidak kemana-kemana. Masih di tempat sama. Berjaga jarak dengan
murid-murid lainnya.
Daniel dan teman-temannya memasuki lapangan
dengan kompak. Setiap jengkal langkah yang menyentuh lantai, tepukan tangan
meriah para penggemar setia mengiringi. Daniel, sebagai kapten team, berdiri di
depan wasit disusul anggotanya di belakang. Mereka berbaris satu banjar, lalu
pemain yang berdiri paling kiri harus berjalan menjabat tangan pemain di
kanannya sampai pemain terakhir di pojok kanan. Mereka bilang, ini adalah wujud
dari sportifitas. Semua pemain berada pada posisinya masing-masing. Peluit
wasitpun dibunyikan. Para supporter mulai mengeluarkan jargon-jargon sebagai
dukungan di pinggir lapangan.
Tidak jauh dari lapangan, Ajeng masih
beridiri termangu. Ia tahu, ia bisa saja menjadi cheerleaders ataupun sebatas
menjadi penonton setia untuk pertandingan Daniel. Tapi, dia lebih memilih untuk
menjaga jarak. Ia tidak pernah merasa sama dengan teman-teman sebayanya. Bahkan
Daniel, dia hanya mampu mengucap nama itu dalam doa. Dia sudah memutuskan untuk
menutup segala kisah masa lalunya. Semua yang ia rasakan telah ia abadikan
dengan goretan bekas jahitan dikeningnya.
*********
Sepuluh tahun yang lalu, Ajeng adalah
gadis yang ceria. Tidak sedetikpun wajahnya menggambarkan kehidupan yang sedih.
Lebihnya lagi, dia tinggal dikeliling orang-orang yang bergelimang harta. Ayah Ajeng
adalah seorang bos perusahaan listrik. Ibunya bekerja di Singapore sebagai
pengusaha kebab yang mapan. Ajeng juga anak tunggal. Jadi, apapun yang ia
inginkan akan terwujud dengan segera. Dari sekian banyak permintaan yang ia
ajukan, hanya ada satu yang tidak bisa orang tuanya kabulkan. Meminta kedua
orang tuanya kembali rujuk menjadi pasangan serasi. Hal ini pula yang membuat
ayah dan ibunya bekerja di Negara yang berbeda. Mereka telah berpisah. Ajeng
mengikuti ayahnya dan tinggal di Salatiga.
Selang dua tahun, kala Ajeng
menginjak umur 13 tahun, ia mendapati fakta yang akan mengubah hidupnya setelah
itu. Ayahnya meninggal dalam perjalanan pulang tertabrak truk. Tubuhnya hancur.
Nyawanya melayang seketika. Mendengar kabar itu, Ajeng menangis lalu pingsan. Saat
ia siuman, ia sudah mendapati rumahnya hanya ada ia dan Bibi Laksmi. Ajeng,
bagaimanapun juga, sangat menyayangi ayahnya. Ia masih belum terima bahwa tuhan
hendak mengajak ayahnya meninggalkan dunia ini lebih cepat. Ia jelas belum rela
untuk kematian yang terlalu terburu-buru.
Ibu Ajeng pulang ke Indonesia. Dia telah
menikah lagi. Ia datang bersama suaminya yang baru dan salah seorang anak yang
terlihat sangat bahagia. Ibunya sempat mengajak Ajeng untuk tinggal bersamanya.
Namun, Ajeng menolaknya. Ia tidak mau tinggal bersama ibu yang tega menikah
lagi dengan orang yang baru. Bahkan, sepeninggal ayah Ajeng, ibunya tidak
memunculkan ekspresi berlebihan. Bahkan, ia nampak biasa saja. Ajeng lebih
memilih hidup bersama Bibi Laksmi, seorang pembantu keluarga yang sudah
mengasuhnya semenjak ia masih dalam kandungan.
Ibu Ajeng menyusul mantan suaminya dua tahun setelahnya. Ia terjangkit
penyakit komplikasi. Meskipun sudah bertahun-tahun Ajeng tidak bertemu dengannya,
ia tetap dialiri daging dan darah ibunya. Ia tetap bersedih, namun tidak
seperti saat ayahnya pergi. ia serupa ibunya kala itu, tidak terlalu
memunculkan raut wajah kehilangan.
******
Pertandingan Daniel berakhir disertai
peluit panjang wasit. Daniel menunjukkan keahliannya selama pertandingan. Seperti
biasanya, dia tidak banyak bicara. Dia diam dan melangkah ke tepi lapangan.
pelatih terlihat memberikan komentar terkait permainan yang sudah berlangsung. Keringat
mengalir dari keningnya turun ke dada. Dia mengusap peluh dengan handuk. Dia sangat
dingin, tapi mampu meluluhkan banyak hati wanita.
Bel sekolah berbunyi nyaring, semua
orang berhamburan kembali ke kelas. Ajeng, dia masih tetap di tempat asalnya
tadi. Matanya tidak kemana-mana, dia terus memandangi Daniel dengan penuh hati.
Melihat lapangan dan kondisi sudah sepi, Ajeng memulai langkahnya mendekati
Daniel. Ia menyodorkan botol minuman ke muka Daniel. Daniel tersenyum dan
menerimanya. Tidak ada suara diantara mereka. Bahkan sekedar angin, ia
terdengar begitu berisik. Ajeng tidak berkata apapun. Mata dan bibirnya
serempak. Matanya melihat Daniel datar. Bibirnya seperti tertutup lakban.
Daniel selesai meneguk minuman satu
botol tanpa sisa. Dia mulai beranjak berdiri. Dia berhadapan dengan ajeng. Jarak
mereka dekat. Kepala Daniel mendekati Ajeng. Semakin dekat. Hembusan nafas
mereka berdua beradu. Mulut Daniel seperti hendak mengatakan sesuatu. Ia memegang
tangan Ajeng dengan lembut, “Setelah ini, aku ingin mengajakmu ke makam ibu
kita. Ayahmu juga ayahku.” Daniel mengusap kening Ajeng dan beranjak pergi.
Ajeng berjalan mengekor di belakang. Mereka masih memiliki arah dan rasa yang
sama, darah dan daging dari seorang ibu yang sama dan ayah yang berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar