Senin, 19 Juni 2017

Cermin Realitas

(Sebelum membaca, tolong hilangkan dulu pikiran tentang surga dan neraka, dosa dan pahala, akhirat dan alam barzah-catatan penulis)

Tan Ho Seng pernah memaparkan pada materialisme dan merxisme tentang kemakmuran sebuah Negara. Substansi materialism tidak perlu disandingkan dengan logika mistika. Korelasi dari pada statement ini adalah perihal kampus yang sekarang digadang menjadi gudang produksi masa intelek. Yang menjadi pertanyaannya, ada dikotomi tentang kampus elite dan biasa saja. secara klise, kampus yang sudah berdiri sejak antek-antek Belanda menyerang, atau semenjak Bung Karno berpidato macam Raja Singa di podium menggaungkan proklamasi, sudah melakukan konsolidasi ekspansi dan pencitraan di kalangan makhluk pribumi. Lain dari pada itu, kampus yang berumur sebentar menjadi korban pelecehan. Bagaimana tidak dilecehkan, sudah kampusnya biasa saja eh masih saja dianggap kurang memuaskan pelanggan. “Sudah jatuh tertimpa tangga” mungkin tepat untuk kelompok kedua. Sudah niat baik menjadikan pendidikan ladang bursa saham eh malah terjerembab.

Sedikit melihat paham pragmatis dari pada filsafat keilmuan. Bahwa segala sesuatunya memang benar berdasarkan fungsinya. Otak, kepala, mata, jantung, dan sebagainya secara fungsi menjadi prior dalam anatomi tubuh. Namun, jangan pernah lupakan tulanng belakang sebagai penyangga mereka semua. Kembali lagi ke kampus, idealnya bila mahasiswa kaum idealism, yang terbuang dari kampus elite dan terlempar pada kampus yang biasa saja, akan terus membandingkan dikotomi tadi. Mirisnya, mereka lupa di titik mana dan siapa yang mengasuh mereka. Kampus besar adalah mereka yang menjebol pidato DPR dan kepresidenan di istana Negara, tapi setidaknya lihat lah juga jebolan wisudawan yang menjadi napi, gembong sindikat narkoba, koruptor kelas bangsat, dan penjilat ulung paling beruntung. Semuanya menggunakan jaringan massive di Negara entah berantah ini, dan jelas bukan wisudawan dari hutan belantara.

Kenapa harus begitu? Ya mungkin saja logika kita belum bisa menerima dikotomi ini. namun, ini lah kenyataanya. Sekarang pertanyaannya adalah, mahasiswa dari kampus biasa saja adakah yang menjadi birokrat atau pejabat Negara? Kalau hanya sebagian saja , cukup untuk disyukuri. menengok analogi perebutan sel telur oleh sperma, dari sekian ribu bahkan juta partai sperma hanya akan ada satu saja yang masuk pada sel telur. selainnya, pergi mengembara. dari sekian pendaftar kampus biasa yang masuk, tidak semuanya menjadi birokrat, yang lain? mengembara (seharusnya pengembara ini yang perlu ditekuni eksistensinya). Permasalahannya lagi adalah, pejabat dari kampus biasa tertentu suka memberikan orientasi doktrinasi yang tidak praksis. Orasi yang dikoar-koar hanya sebatas cita-cita mistika yang jelas-jelas sudah didapatkan di surau dan rumah perasingan, atau mungkin tentang cita-cita yang sering diucapkan guru kala tanya di sekolah dasar tingak 1. Harusnya seimbang dengan sudut pandang realistis juga. Kenapa tidak ditunjukkan orientasi yang progressif? Misalnya, berikan saja analogi perusahaan. Perusahaan yang memiliki omzet besar dan memiliki daya jual tinggi, tidak akan bisa berjalan bila roda perekonomian tidak di jalankan. Pengusaha, pekerja, wiraswasta, adalah penggerak roda ekonomi Negara. Lalu kenapa harus repot-repot kuliah buat jadi ahli retorika? Perlu ditekankan untuk menjadi mahasiswa yang kreatif dan tangkas dalam mengembangkan potensi diri. Jadikan diri sendiri menjadi pribadi yang bekerja. Bukankah itu lebih realistis? (lihat dikotomi yang pertama)

Caranya bagaimana untuk mengembangkannya? BACALAH BUKU! Dengan membaca buku, setidaknya kita bisa mengenal metodolgi berfikir defensive dan offensive. Presenter akan membaca buku jurnalistik, guru akan membaca buku pendidikan, agamawan akan membaca kitab suci, pengusaha akan membaca buku bisnis, dokter akan membaca buku anatomi, seniman akan membaca buku seni, dan MANUSIA MEMBACA BUKU.  Sekali lagi, dunia ini bukan tentang pekerjaan, tapi tentang bertahan hidup. Jadikanlah dunia ini dunia kita, jangan jadikan dunia orang lain menjadi dunia kita. Yang hal demikian menjadikan paradigma stereotype yang konservatif dan paradoks. Jangan terlalu merendah diri sendiri, kita bisa hebat karena kualitas diri.

0 komentar:

Posting Komentar