(Sebelum membaca, tolong
hilangkan dulu pikiran tentang surga dan neraka, dosa dan pahala, akhirat dan
alam barzah-catatan penulis)
Tan Ho Seng
pernah memaparkan pada materialisme dan merxisme tentang kemakmuran sebuah Negara.
Substansi materialism tidak perlu disandingkan dengan logika mistika. Korelasi dari
pada statement ini adalah perihal kampus yang sekarang digadang menjadi gudang
produksi masa intelek. Yang menjadi pertanyaannya, ada dikotomi tentang kampus
elite dan biasa saja. secara klise, kampus yang sudah berdiri sejak antek-antek
Belanda menyerang, atau semenjak Bung Karno berpidato macam Raja Singa di podium
menggaungkan proklamasi, sudah melakukan konsolidasi ekspansi dan pencitraan di
kalangan makhluk pribumi. Lain dari pada itu, kampus yang berumur sebentar
menjadi korban pelecehan. Bagaimana tidak dilecehkan, sudah kampusnya biasa
saja eh masih saja dianggap kurang memuaskan pelanggan. “Sudah jatuh tertimpa tangga”
mungkin tepat untuk kelompok kedua. Sudah niat baik menjadikan pendidikan
ladang bursa saham eh malah terjerembab.
Sedikit melihat
paham pragmatis dari pada filsafat keilmuan. Bahwa segala sesuatunya memang benar
berdasarkan fungsinya. Otak, kepala, mata, jantung, dan sebagainya secara
fungsi menjadi prior dalam anatomi tubuh. Namun, jangan pernah lupakan tulanng
belakang sebagai penyangga mereka semua. Kembali lagi ke kampus, idealnya bila
mahasiswa kaum idealism, yang terbuang dari kampus elite dan terlempar pada
kampus yang biasa saja, akan terus membandingkan dikotomi tadi. Mirisnya,
mereka lupa di titik mana dan siapa yang mengasuh mereka. Kampus besar adalah
mereka yang menjebol pidato DPR dan kepresidenan di istana Negara, tapi
setidaknya lihat lah juga jebolan wisudawan yang menjadi napi, gembong sindikat
narkoba, koruptor kelas bangsat, dan penjilat ulung paling beruntung. Semuanya menggunakan
jaringan massive di Negara entah berantah ini, dan jelas bukan wisudawan dari hutan belantara.
Kenapa harus
begitu? Ya mungkin saja logika kita belum bisa menerima dikotomi ini. namun,
ini lah kenyataanya. Sekarang pertanyaannya adalah, mahasiswa dari kampus biasa
saja adakah yang menjadi birokrat atau pejabat Negara? Kalau hanya sebagian
saja , cukup untuk disyukuri. menengok analogi perebutan sel telur oleh sperma, dari sekian ribu bahkan juta partai sperma hanya akan ada satu saja yang masuk pada sel telur. selainnya, pergi mengembara. dari sekian pendaftar kampus biasa yang masuk, tidak semuanya menjadi birokrat, yang lain? mengembara (seharusnya pengembara ini yang perlu ditekuni eksistensinya). Permasalahannya lagi adalah, pejabat dari kampus biasa tertentu suka memberikan orientasi doktrinasi yang tidak praksis. Orasi yang dikoar-koar hanya sebatas
cita-cita mistika yang jelas-jelas sudah didapatkan di surau dan rumah
perasingan, atau mungkin tentang cita-cita yang sering diucapkan guru kala tanya di sekolah dasar tingak 1. Harusnya seimbang dengan sudut pandang realistis juga. Kenapa tidak
ditunjukkan orientasi yang progressif? Misalnya, berikan saja analogi
perusahaan. Perusahaan yang memiliki omzet besar dan memiliki daya jual tinggi,
tidak akan bisa berjalan bila roda perekonomian tidak di jalankan. Pengusaha,
pekerja, wiraswasta, adalah penggerak roda ekonomi Negara. Lalu kenapa harus
repot-repot kuliah buat jadi ahli retorika? Perlu ditekankan untuk menjadi
mahasiswa yang kreatif dan tangkas dalam mengembangkan potensi diri. Jadikan diri
sendiri menjadi pribadi yang bekerja. Bukankah itu lebih realistis? (lihat
dikotomi yang pertama)
Caranya bagaimana untuk mengembangkannya? BACALAH
BUKU! Dengan membaca buku, setidaknya kita bisa mengenal metodolgi berfikir
defensive dan offensive. Presenter akan membaca buku jurnalistik, guru akan
membaca buku pendidikan, agamawan akan membaca kitab suci, pengusaha akan
membaca buku bisnis, dokter akan membaca buku anatomi, seniman akan membaca
buku seni, dan MANUSIA MEMBACA BUKU. Sekali
lagi, dunia ini bukan tentang pekerjaan, tapi tentang bertahan hidup. Jadikanlah dunia
ini dunia kita, jangan jadikan dunia orang lain menjadi dunia kita. Yang hal demikian menjadikan paradigma stereotype yang konservatif dan paradoks. Jangan terlalu merendah diri sendiri, kita bisa hebat karena kualitas diri.
0 komentar:
Posting Komentar