Kemarin, Jum’at 16 September, aku berkunjung ke kontrakan
kawanku di Jogja. Kita berencana menghadiri cuci gudang Gramedia yang
diselenggarakan hingga akhir bulan. Sebenarnya, aku dan kawanku ini sudah
datang hari sebelumnya. Namun, kami datang terlalu siang. Imbasnya, kami
kehabisan kuota pengunjung dan terpaksa tidak bisa masuk. Bagaimanapun, animo
minat baca masyarakat disana sungguh luar biasa. Sehingga kami musti rela
berdesak-desakan demi mendapat obral wacana murah.
Kita akhirnya bisa masuk meskipun terbatas waktu untuk
menunaikan sholat Jum’at. tepatnya kita masuk pukul 10.30 WIB. Tentu saja kita
hanya mendapatkan dispensasi waktu 1 setengah jam untuk mencari buku-buku. Itu adalah
waktu yang relatif sedikit menurutku. Kami menyusuri rak demi rak, apakah ada
buku yang menarik pandangan. Kita bergerilya hingga pada adzan Jum’at
berkumandang. Lantas,kita bergegas menyelasaikan transaksi dan segera ke
masjid. Kita adalah partner yang hebat kala itu. Kita berhasil mendapatkan
beberapa eksemplar yang kita cari.
Ternyata kita sholat di masjid yang berbeda. Kronologinya adalah saat
kawanku ini tiba-tiba menanyaiku, “Kamu mau sholat dimana?” sontak aku bingung
apa yang ia maksud. Pertanyaan kedua kini memahamkanku, “mau yang hijau apa
biru?”. Secara pragmatis, aku tahu maksudnya. Hijau dan biru yang ia maksud
adalah simbol kelompok yang berbeda. Ia adalah pengikut biru, sedangkan aku
hijau. Bukankah dia amat baik menawariku dulu untuk menentukan tempat
peribadatan? Dia jelas bukanlah kaum oportunis. Dia memberikan keleluasaan
padaku. Aku juga tidak mempermasalahkan ini. Bahkan malam sebelumya kita juga
berbincang banyak tentang hukum. Kita memiliki beberapa pandangan yang sama. Dan
aku pikir inilah yang aku rasakan, kebersamaan. Bagaimanapun, hijau dan biru
adalah warna berbeda. Namun, tetaplah mereka itu dikatakn sebuah warna.
16-09-16
0 komentar:
Posting Komentar