Lucunya negeri supmak. Pertama kali Bagong menginjakkan kaki
di negeri yang diisi banyak cendekia berasas syari’at “selamat”. Bagong punya
ekspektasi yang luar biasa hebat kedepannya. Ia akan menjadi makhluk berakal,
berbudi, juga bermoral. Pengetahuan Bagong yang sedikit itu dipercayainya akan
menjelma menjadi kumpulan teori praksis yang akan menyelamatkan lingkungannya
di dusun kancut. Idealisme Bagong akhirnya dipupuk dari dogma paling dasar soal
visi dan misi yang terpampang jelas di depan gerbang. Kalau tidak salah,
tulisannya “pada tahun mendekati kiamat negeri ini akan menjadi rujukan
syari’at selamat bagi negeri lainnya.” Bagong menyungging bibirnya, dalam
batinnya amat kagum dengan deretan aksara yang hanya bisa ditulis oleh para
pemikir ulung yang sudah memakan buku lalu mengeluarkannya di toilet.
Tahun pertama Bagong lalui dengan bangga. Karena negeri ini
memiliki regulasi bahwa warga yang bermasa depan cerah adalah mereka yang
mendapatkan stempel mirip symbol Yoni dalam kepercayaan tetangga. Bagong benar
mendapatkan stempel tersebut setelah melewati ujian kognitif.
Tahun kedua dan seterusnya, sembari Bagong makin dewasa, ia
heran dengan paradigma sosial di negerinya. Namanya juga Bagong, makhluk
kampung, tahunya juga tabiat desa dan wejangan yang diberikan guru suraunya.
Nampaknya ia mulai mendapatkan perbedaan dari sini. Pertama, delalah Bagong itu
berkecimpung di dunia mendidik, ia mengucapkan salam kepada salah seorang
aparat Negara. Eh, tidak di jawab. Cuma senyum aja. Setahu Bagong, menjawab
salam di syariat selamat itu harus lo. La ini kok begitu, Bagong lantas
memakluminya. Kedua, setahu Bagong menghormati orang itu adalah perlu. Namun,
Bagong kok heran dengan tingkah aparat yang suka merendahkan jelata.
Lalu, waktu Bagong kebingungan mencari hal yang disuruh oleh
seorang aparat. Bagong tanya baik-baik, eh Bagong Cuma jadi korban cuek. Pas
ngomong, yang diajak ngomong tidak menatapnya. Bagong sih sadar, bagong itu
Cuma makhluk kampungan. Bagong jelas bukan pejabat negeri yang diciumi
pantatnya. Jadi wajar aja kalo pas Bagong ngomong, aparatnya gak nengok muka
Bagong, karena muka Bagong bukan pantat. Hehehe
Apapun yang Bagong lakukan hanya menjadi bom bagi dirinya
sendiri. Jelas gaya kampung tidak berlaku di negeri yang semuanya serba
normatif. Guru suraunya bilang itu pantat, pejabat negeri akan memandangnya
lumbung tinja emas. Idealisme Bagong semakin luntur mendekati masa akhir. Namun
bagaimanapun berbeda, Bagong mengikuti wejangan guru suraunya. Fi’lu kulli amrin,
miturut regulasi seng berlaku.
Hak perogratif warga negeri supmak idealnya hanya 4 tahun.
Itupun kalau warganya berhasil mengikuti gaya pantatisasi pejabatnya. Akhirnya,
dengan pengalaman empiris yang Bagong alami, Bagong memutuskan kembali ke
surau. Di sana ditemuinya guru yang tengah berdzikir. “guru, saya ini
kok……”. Gurunya menyela lantas berkata,
“ Di dalam komoditas yang kau hadapi sekarang, kau sedang dihadapkan pada
bagian pantat dan kelamin. Kedua sisi adalah sumber dan cikal bakal terciptanya
manusia hebat dan saluran kesehatan manusia. Namun, keduanya adalah aurat yang
perlu kau tutupi, pun menjadi sumber kekacauan di bumi. jadi, jangan heran
kalau semuanya beda dengan apa yang pernah kita bahas di surau. Suraumu ini
hanya majlis yang mengkaji hati. Dan hati tidak berada di pantat dan kelamin.
Kau perlu mengkaji pantat dan kelamin agar kau tahu, bahwa ada kesinambungan di
dalamnya dengan hati. Jadi, 4 tahun ini pertahankan matamu dari pantat, jaga
hidungmu dari bau tinja.” Bagong kini paham, lantas ia berdiri dan mengambill
wudhu. ia takut mukanya menjadi seperti pantat dan kelamin, pun pola pikirnya.
0 komentar:
Posting Komentar