Senin, 04 Juli 2016

Apa Karena Aku Cacat?

Lihat saja gadis itu. Duduk sendiri di kelas dengan selembar kertas ujian, pensil dan perkakas lainnya. Hari ini hari terakhirnya ujian akhir. Namun dia nampak sedih. Teman lainnya sudah mengerjakan soal, bercucur keringat dingin, ada sebagian yang lain mengusap-usap kepala berharap jawaban akan muncul dari gerbang dimensi otaknya. Dia, gadis itu, terus menengok gelisah ke arah pintu kelas, berharap seorang akan datang. Yah, laki-laki yang selama ini membantunya menuliskan jawaban ujian, karena tangannya sendiri cacat kanan dan kiri. Keduanya buntung, tak berdaya menulis. Dia gelisah, air matanya tak kuasa jatuh. Bukan dia namanya yang megedepankan nilai hasil di atas segalanya. Nilai baik mutlak baginya karena dia ingin kelak menjadi orang yang berpengaruh. Kakak yang sedari tadi di tunggu tak kunjung datang. Dia terjebak macet d persimpangan jalan pasar. Jalan sengaja ditutup untuk menyambut kedatangan anak menteri. Setengah jam berlalu, dan gadis ini terus menangis dalam tunggu. Waktu tersisa satu jam.
Gadis ini lalu beranjak berdiri dan keluar mencari bantuan. Semua orang sedapatnya dia temui dan dimintai pertolongan. Ada saja alasan mereka menolak. Waktu tinggal setengah jam dan tak seorang pun berkenan membantunya. Masa depan nilai sempurna terancam melebur setengah jam dari saat ini.
Kakaknya terus memprotes penjaga. "Aku hendak kesekolah membantu adikku mengerjakan ujiannya. Kedua tangannya cacat." penjaga hanya berdiam dan berbisik pada temannya yang lain. "Mereka ini hanya orang bodoh. Ini akibatnya memilih. Rasakan saja. Persetan dengan ujian adiknya."
Konvoi mobil mewah melintas cepat, hanya beberapa detik dihadapan kakak satu ini. Akhirnya pagar pembatas dibuka, seluruh mobil mulai melaju.
Kakak keheranan melihat keadaan sekolah yang sangat ramai, melingkari sebuah pemandangan. Seorang tergeletak dengan kucuran darah di kepalanya. Ya itu adiknya. Adiknya yang cerdas. Adiknya yang akan menjadi orang berpengaruh dunia. Tak ada gerak sedikitpun. Dia telah memutuskan untuk terjun dari lantai tiga karena putus asa. Tak ada seorangpun menolongnya. Apakah karena tangan cacat ini, masa depannya hancur.
Kakaknya berlari menuju adiknya dan merangkulnya, "maafkan kakak, Dek."
Hanya sebuah tunggu beberapa detik, negara kehilangan satu aset berharga yang mungkin tak akan dimiliki di kemudian hari.

0 komentar:

Posting Komentar